LIPUTANREDAKSI.COM- Pagi subuh buta, dua jam sebelum subuh tepatnya.
Raga kurus ini menggigil dihantam angin laut selat Melaka yang menyusur jauh hingga ke sungai yang membelah kampung kami. Dan ditepi sungai ini aku tegak berdiri, diantara bakau dan nipah tempat buaya muara bertelur, juga tempat ular bakau beranak-pinak. Hitam malam begitu gelapnya. Segelap air sungai berwarna keruh dan berputar dihantam pasang keling ujung tahun ini. Bayangan serasah bakau dan nipah bagai jembalang laut bergerak menyeramkan oleh cahaya suluh obor yang aku pegang.
Cemas aku memperhatikan permukaan sungai.
Dan byurr..
Kepala Abah muncul dari dalam sungai.
“Tarik Ayub..” serunya serak. Cepat aku menangkap tali rotan yang dilempar Abah, dan aku pun menariknya sekuat tenaga.
“Hei anak jantan, tak bisakah kau tarik lebih kuat..?” seru Abah tertawa.
Aku mengerahkan segenap tenaga yang ku punya. Dan perlahan-lahan, sesosok benda besar muncul dari dasar sungai dipangkal tali rotan yang aku tarik.
Abah membantu mendorong benda itu ke tepi sungai.
“Tahan intan payung! Jangan sampai hanyut terbawa arus pasang ”. Cepat aku tambatkan tali yang aku pegang pada tunggul kayu bakau agak ke darat, sambil berseru;
“Usah panggil aku intan payung Bah, panggil aku anak jantan!!” seruku kesal. Abah terbahak.
Akhirnya benda bulat hitam besar itu pun tertambat rapi di tepi sungai; sepotong besar balak tim kayu punak! Abah tersenyum puas membayangkan harga yang akan didapatkannya saat touke cina menjemput hasil kami menumpil balak. Menjelang fajar, seperti biasa Abah membentangkan sejadahnya. Di bawah bayangan kayu ara bibir tuanya menggumam takbir sholat subuh. Baca Juga Pusat Penjualan Mesin Peras Santan Kelapa.
“Mengapa Abah selalu memanggil aku Anak Jantan?” tanyaku suatu ketika.
“Karena engkau memang anak jantan kan?” jawab Abah tersenyum menggoda.
“Lagi pula itu sesuai dengan nama sungai ini dulu kala, Sungai Jantan. Dan engkau adalah anaknya, yang menjaga sungai ini dari kerusakan kelak” sambung Abah.
“Lalu mengapa pula kita mencuri kayu balak tim dari sungai ini Bah?” tanyaku..
“Kita bukan mencuri anak jantanku. Kayu itu memang tak ada pemiliknyaa”. Jawab ayah membelai kepalaku dengan sayangnya.
“Kemana orang yang punya Bah?”.
“Dulu..Setiap ponton kayu pembawa balak menyusuri sungai menuju pabriknya di hulu sana, ponton itu habis dijarah oleh orang-orang kampung sepanjang sungai ini. Mereka membawa sampan dan mengepung ponton itu dan melompat ke dalamnya. Beramai-ramai mereka mencampakkan balak itu ke sungai, sementara yang lainnya terjun berenang mengumpulkan kayu balak itu untuk dijual ke penadah. Tak terhitung diantara mereka yang mati terhimpit balak atau jatuh terbawa arus, atau mati terhisap air sungai yang berputar misterius” aku bergidik ngeri.
“Tak semua kayu balak itu terapung di sungai saat dicampakkan. Ada banyak juga yang tenggelam. Yang tenggelam itulah jenis kayu punak, kayu berakualitas terbaik dengan harga terbaik pula”. Kata Abah tersenyum penuh arti.
“Kayu itukah yang kita ambil Bah?” seru ku takjub.
“Benar..Daripada membusuk tak berguna di dasar sungai elok kita ambil kan?” jawab Abah.
Aku tersenyum jika mengingat itu semua.
Tapi kawan..
Itu semua adalah kenangan belaka!.
Iya, kenangan..
Kenangan saat aku masih terperangkap di kampung yang menyedihkan itu sebelum aku meninggalkannya. Semuanya berawal saat sahabat ku mengajak ku merantau ke kota.
“Di sana senang mencari uang” katanya membujuk.”kita bisa menjadi kuli panggul ikan di pasar bawah, atau menjadi kernet oplet di pasar pusat seperti kawan-kawan kita yang telah ke sana” serunya.
Aku terlena, terbuai dan menerima ajakannya.
Lalu perdebatan kecil pun terjadi antara aku dan Abah.
“Apa pasal yang nak kau ke kota anak jantanku?. Jika kau pergi kampung ini akan menjadi kampung mati. Semua anak lajang merantau ke kota, hanya tersisa orang tua yang tinggal menunggu mati dan anak kecil yang tak punya masa depan”. Kata Abah. Seperti biasa jari tuanya mengelus rambutku dengan penuh kasih sayang.
“Masa depan yang macemana yang Bah maksud? Masa depan penumpil balak? Atau petani ladang yang tiap hari tanamnnya dilantak babi?” jawabku sinis meniru kalimat sahabatku.
“Haii..Pandai kau becakap sekarang Ayub” kata Abah tersenyum sabar.
“Abah pun tak mau menjual tanah untuk biaya aku lanjut ke SMA Kabupaten kan? Lalu masa depan apa yang Abah harapkan?”.
Abah terdiam.
Andai aku tahu bahwa kalimatku menggores hatinya taklah aku sampai hati mengucapkan kalimat itu.
“Ini sudah kita bahas Ayub. Kalau Bah jual satu-satunya tanah ladang milik kita, lalu apa yang hendak kita makan satu keluarga ini?. Engkau anak pertama dan satu-satunya anak jantanku, seharusnya engkau memahami Nak” keluh Abah terbata-bata. Tak ku sadari setetes air mata jatuh dari sudut-sudut matanya yang telah digurati garis-garis ketuaan.
Aku tak perduli kawan.
Aku pun tetap berangkat ke kota.
Aku berangkat meninggalkan kampung bersama segala kenangannya.
“Abah tak usah khawatir. Bah tak perlu mengirimkan uang membantu hidupku di kota. Jika sudah berhasil aku akan kembali dan membangun kampung seperti yang bah harap. Ini janji Anak jantan Abah” kataku memeluk Abah, meski Abah hanya menggeleng kepala menolak janjiku.
Kawan….
Allah memang sayang padaku, mungkin.
Ataukah DIA menguji aku dengan sayang-NYA itu?
Semua cita-citaku dipermudah-Nya seperti harapan janji aku pada Abah. Bersama sahabat ku, berawal menjadi kuli panggul di Pasar Bawah kami akhirnya bisa menamatkan SMA bersama. Lalu dari program beasiswa prestasi aku juga akhirnya meraih gelar Insinyur Pertanian di universitas negeri kota ini, sementara sahabatku memutuskan berdagang. Pejalanan hidup siapalah yang tahu, terkadang semuanya bagaikan mimpi. Karena tak lama setelah aku wisuda, aku mendapatkan panggilan kerja di perusahaan perkebunan sawit milik negari ini.
Namun janji aku sebagai Anak Jantan kepada Abah tak sepenuhnya aku tunaikan. Aku tak hendak pulang kampung karena terlena dengan karirku yang terus melejit.
Satu-satunya janji yang aku penuhi adalah menolak semua kiriman uang dari Abah. Sejak awal, setiap menerima wesel pos berisi uang kiriman Abah maka uang tersebut aku kirim balik ke kampung karena aku bertekad ingin hidup mandiri. Sebenarnya ada satu alasan mendasar mengapa aku melakukannya. Sebagai anak jantan aku merasa rendah diri jika dibantu hidup dari orang tua saat merantau di negeri orang, terlebih dari ayah tiriku.
Ayah tiri?
Iya kawan.
Sebenarnya Abah adalah ayah tiriku, karena ayah kandung aku meninggal dunia saat aku bayi. Lalu tak lama kemudian emak dipersunting Abah hingga kemudian lahir adik-adik tiiriku.
Entah mengapa saat hidup diperantauan yang hidup bagai “keatas tak berpucuk- kebawah tak berakar”, baru aku menyadari arti rindu terhadap seorang ayah kandung. Bukan seorang ayah tiri, namun seorang ayah yang merupakan awal dari daging dan darahku ini berasal.
Apakah kurangnya sayang Abah selama ini?
Aku tak tau dan akupun tak bisa menjawabnya.
Namun aku merasakan rindu sebenarnya, rindu terhadap sosok ayah yang wajahnya tak pernah aku kenal. Itu semua menjadikan jiwa aku kering, dan menjadi sinis terhadap Abah.
“Pulanglah Nak, Abah merindu mu” tulis Abah dalam setiap suratnya.
Sebuah rindu dari seorang Ayah Tiri?
Ah..aku malah berpikir itu adalah hanya sekedar bunga kehidupan, atau bahkan omong kosong belaka. Maka hari-hari selanjutnya membuat jiwa ini lebih kering. Ragaku tenggelam dalam rutinitas kerja yang membuat karir ku semakin bersinar.
Hingga suatu ketika, saat dalam suatu perjalanan dinas ke suatu daerah pedalaman meneliti prospek pengembangan perkebunan, seorang karyawan daerah tergopoh-gopoh menghampiri aku. Dia mengajukan peminjaman uang kas perusahaan dan meminta rekomendasiku selaku salah satu manajer pusat. Jumlahnya cukup besar. Tertera dalam format rekomendasi itu bahwa pinjaman uang tersebut untuk pengobatan ayah tirinya.
Aku tercekat. Ayah tiri?
“Sakit apa ayah mu?” tanya ku.
“Sakit komplikasi Pak” jawabnya hormat.
“Di sini tertera kamu anak terakhir, sementara di atas mu ada lima anak laki-lakinya yang lain. Kemanakah mereka?”
“Mereka…..?”. jawabnya ragu.
Aku menunggu. Aku lihat wajahnya mendung menyimpang kesedihan teramat dalam.
“Tolonglah saya Pak, saya membutuhkan dana itu untuk pengobatan ayah saya”.