Dosen dan Mahasiswa Hubungan Internasional UNRI Turut Andil Dalam Mengkritisi Program Transisi Energi Berkeadilan Melalui Diskusi Bedah Buku “Pergulatan Transisi Energi Berkeadilan : Satu Isu Beragam Dilema”

PEKANBARU,LIPUTANREDAKSI.COM- Siti Mawaddah Palamani, S.IP.,M.Han, Satya Wira Wicaksana, S.IP., M.Han, Ummunisa Hidayati, M.InterDevPractice, Dr. Saiman, S.IP.,M.Si, Tuah Kalti Takwa, S.H., M.H, Hendrini Renolafitri, S.IP., MA, dan mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Riau, serta dihadiri oleh pihak Trend Asia turut andil dalam mengkritisi program transisi energi berkeadilan melalui diskusi bedah buku pada 10 September 2024.

Diskusi kritis seperti ini menjadi kegiatan penting yang patut diteladani oleh para akademisi diseluruh Indonesia untuk turut andil dalam memberikan pemahaman yang jelas atas kebijakan pemerintah Indonesia dan diharapkan melalui diskusi ini akan memperkuat solusi serta aksi guna mencapai kebijakan pemerintah yang adil untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali dan sebagai evaluasi kebijakan kedepannya.


Transisi Energi Berkeadilan adalah proses peralihan dari sistem sosial-ekonomi intensif karbon menuju sistem sosial-ekonomi rendah karbon. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi resiko dan dampak perubahan iklim secara signifikan dengan mengurangi penggunaan karbon dalam sektor energi.

Pemerintah Indonesia turut andil untuk menahan peningkatan suhu rata-rata global jauh dibawah 2 derajat celcius diatas tingkat pra-industri, dan melakukan upaya untuk membatasi peningkatan suhu hingga 1,5 derajat celcius sesuai dengan Art.2a Perjanjian Paris.

Beberapa tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini diantaranya yaitu peningkatan suhu 0,45 hingga 0,75 derajat celcius, perubahan curah hujan kurang lebih mencapai 2,5 mm perhari, kenaikan permukaan air laut 0,8 hingga 1,2 cm pertahun, gelombang ekstrem meningkat 1,5 m, 5,8 juta km² wilayah perairan Indonesia berbahaya bagi kapal nelayan 10 GT, produksi beras akan menurun dibeberapa wilayah.

Tidak hanya itu, wabah Covid-19 juga memperparah dampak perubahan iklim dan kondisi sosial, ekonomi, serta lingkungan, diantaranya yaitu; kegagalan panen karena kekeringan atau banjir ekstrem, penurunan kualitas udara, laut, air, dan tutupan lahan, terancamnya keanekaragaman hayati, meningkatnya krisis air akibat permintaan air perkapita yang bertambah, gangguan rantai pasok, meningkatnya limbah B3 dan limbah domestik.

Baca Juga:  Sebanyak 65 Pembalap Sepeda Ramaikan Kota Istana

Beberapa kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia atas komitmen iklimnya sesuai poin Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke-13, yaitu Penurunan intensitas energi, energi baru terbarukan, transisi kendaraan listrik, reforestasi hutan, reforestasi lahan gambut dan rehabilitasi mangrove, pencegahan deforestasi, pencegahan kebakaran lahan gambut, ekonomi sirkular, penurunan produksi limbah cair, penghapusan subsidi BBM, dan penerapan pajak karbon.

Kebijakan ini sering kita kenal sebagai kebijakan Net Zero Emissions (rendah karbon) yang diharapkan tersempurnakan pada tahun 2030 mendatang.

“Program transisi menuju kendaraan listrik masih belum sempurna terealisasikan, karena tidak semua lapisan masyarakat dapat mengakses ke kendaraan listrik. Program ini hanya sebagai formalitas saja atas komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim dan citra internasional” Ujar Wadda selaku pemateri 3 dalam kegiatan tersebut yang dilaksanakan di kampus Universitas Riau.

Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia perlu melek kembali terhadap kebijakannya, apakah seluruh masyarakatnya sudah merasakan keadilan atas kebijakan yang dibuat atau hanya menguntungkan orang-orang kaya saja yang memiliki akses.

“Transisi kendaraan listrik memberikan keuntungan terhadap pemerintah, dimana masyarakat akan berupaya untuk mengganti kendaraannya yang mulanya menggunakan bensin menjadi baterai. Padahal, untuk memproduksi baterai kita juga memerlukan nikel, litium, kobalt, besi, ataupun aluminium yang pada akhirnya juga menghasilkan emisi gar karbon. Artinya, sama saja mau kita menggunakan bensin atau baterai, ya sama-sama berkontribusi terhadap emisi gas karbon. Dan ini hanya perputaran ekonomi yang menguntungkan pemilik modal. Masyarakat tidak merasakan kebijakan transisi energi yang berkeadilan tersebut. Sederhana saja, masih ada wilayah Indonesia yang tidak mendapatkan akses listrik” ujar Ummun selaku pemateri 1.

“Kita perlu mengkritisi kebijakan pemerintah dan pendapat para akademisi, perusahaan, politisi, masyarakat, dan pihak lainnya terkait transisi energi berkeadilan guna mencari tahu apakah kebijakan ini adil di seluruh lapisan masyarakat atau tidak” Ujar Wicak selaku pemateri 2.

Baca Juga:  Mantap!, Atlet Anggar Asal Siak Raih Medali Emas di PON XXI Aceh-Sumut

“Melalui kacamata hubungan internasional, kebijakan ini hanya sebagai pemantik bagi Indonesia untuk mendapatkan bantuan dari luar negeri melalui komitmen iklim. Kebijakan ini belum sempurna terealisasikan, apalagi ditahun 2030. Gak cukup waktu segitu untuk merealisasikan program ini, paling tidak sampai 2060 mendatang. Dan diharapkan kepada pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi kebijakan Net Zero Emission ini apakah sudah adil hingga seluruh lapisan masyarakat di berbagai daerah yang ada di Indonesia” Ujar Risfa, seorang mahasiswa hubungan internasional, kajian ekonomi politik internasional, dalam wawancaranya oleh Aldy dari pihak Trend Asia yang memprakarsai kegiatan diskusi kritis ini.(***)

 









Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar