Sebuah Cerpen Mengangkat Kearifan Lokal Masyarakat Melayu Siak “JANJI ANAK JANTAN “

Daerah, Siak1,268 views

Aku tahu. Tapi itukan ayah tiri kamu? Dimana anak kandungnya?” desak ku.
Apakah ini diperlukan sebagai syarat rekomendasi ini Pak?”. Katanya bingung.
“Ya..” jawab aku tegas.
Abang-abang saya orang tak mampu Pak, mereka tak mampu mengobati sakit ayah sehingga saya mengajukan pinjaman ini”.

“Benarkah? Namun di sini pekerjaan mereka Pegawai Negeri Sipil dan Wiraswasta” desakku.
“Kamu ada waktu untuk menceritakan semua, sekarang” entah mengapa aku makin penasaran dengan “kasus” bawahan aku yang satu ini.

Dia menghela nafas.
Abang-abang saya telah memiliki dunia mereka masing-masing Pak. Mereka tidak perduli lagi dengan ayah yang telah membesarkan mereka” jawabnya lirih. Sorot mataku mengajukan sejuta pertanyaan. Dia maklum dan melanjutkan kalimatnya.

“Bapak beruntung memiliki ayah yang sangat menyayangi Bapak, seperti halnya ayah saya menyangi abang-abang saya sebagai anak kandungnya. Sementara sebagai anak tiri, saya dikesampingkan. Sejak saya mengenal abang-abang saya, ayah memanjakan mereka dengan sangat berlebihan. Mereka tumbuh sebagai anak yang malas, manja dan sebagainya. Sering saya mengadu pada Ibu mengapa saya diperlakukan tidak adil?. Ibu tak bisa menjawan apa-apa selain berusaha memberikan pengertian bahawa saya anak tiri ayah. Lalu apa bedanya dengan ayah kandung?. Bukankah semuanya sama-sama ayah?. Saya sadar saya sudah tidak memiliki ayah kandung yang memang sudah dipanggil oleh Allah Pak. Tapi bukankah Allah juga memberikan seorang ayah baru bagi saya?. Saya tak perduli apapun sebutannya. Namun mengapa saya tak mendapatkan kasih sayang dari ayah baru saya? Dari lahir saya tak pernah merasakan lembutnya jari-jari seorang ayah menyentuh pipi saya. Saya tak pernah merasakan tangannya membelai kepala saya. Saya tak pernah mendengar seorang ayah yang memanggil saya dengan sebutan kesayangannya. Tidak… Beliau tidak ubahnya seperti patung berjalan, atau bahkan saya yang mungkin dianggapnya seperti patung. Namun saya tetap menghormatinya sebagai seorang ayah, seraya berdoa semoga Allah menjadikannya benar-benar sebagai ayah sejati saya. Dan harapan tingallah harapan. Semuanya tidak berubah hingga kami tumbuh dewasa. Abang-abang saya dikuliahkan oleh ayah saya ke universitas luar negeri sedang saya melanjutkan ke universitas propinsi saja, itupun karena saya lulus SMPTN. Kalau tidak entah bagaimanalah nasib saya Pak”.

Selama dia bercerita jantungku berdetak keras karena kisahnya seakan-akan mengadili aku yang menganggap kasih sayang Abah hanya sekedar omong kosong belaka. Memang betul apa yang dikatakannya tadi bahwa aku beruntung memiliki seorang ayah tiri seperti Abah. Ah..Ayah tiri?. Bukankah ayah tiri tak ubahnya ayah kandung?. Kerinduan ku kepada Abah tiba-tiba datang membuncah. Sehatkah Abah sekarang? Sakitkah Abah sekarang? Masihkah Abah menumpil balak? Siapa yang membantunya?

Baca Juga:  Polairud Meranti, Cooling system Saat Pengamanan Giat Festival Sampan layar Tahun 2023

“Lalu..?” tanya ku parau.

“Sekarang ini sayalah yang belum berkeluarga. Abang-abang saya telah menikah dan mendapatkan istri masing-masing jauh dari kota kami. Sementara itu ayah tambah tua dan uzur. Saat pertama kali ayah sakit adalah mereka menjenguk sekali-dua. Namun sakit ayah ternyata tak kunjung sembuh. Mereka awalnya membuat jadwal secara bergantian menjenguk ayah. Namun jadwal itu hanyalah sekedar jadwal karena sebenarnya mereka berpura-pura peduli terhadap ayah padahal tidak. Tak ada yang melaksanakan jadwal itu, lalu mereka saling menyalahkan hingga terjadi pertengkaran. Mendengar ini sakit ayah semakin berat, sementara mereka makin tenggelam dengan dunia mereka saja. Harta ayah sudahlah habis membiayai kuliah abang-abang saya sampai mereka menjual rumah peninggalan ayah kandung saya. Tak apa, saya ikhlas Pak. Namun yang tak saya ikhlaskan, mengapa mereka yang dikatakan anak kandung malah menyia-nyiakan ayah mereka sendiri?.

Pak..Saya ingin sekali berbakti kepada ayah kandung saya semasa hidup, tapi itu sudah tak mungkin saya lakukan karena beliau sudah meninggal dunia. Maka izinkan saya berbakti kepada penggantinya terserah ayah apapun sebutannya. Izinkan saya meminjam uang perusahaan agar ayah saya sembuh dari sakitnya. Agar beliau bisa mengelus pipi saya, mengusap rambut saya, memanggil nama saya dengan penuh kasih sayang Pak” Isak tangisnya tumpah.

Demikian juga aku yang merasakan rindu kepada Abah semakin hebat.

Duhai…Anak jantan macam apakah aku ini Bah?.

Segera setelah semua urusan dengan bawahanku selesai, aku kembali ke kota. Aku mencari surat terakhir Abah untuk mengobati rasa rinduku padanya.

Sesampai di kota telepon genggam aku berdering. Adik tiriku menelepon dari kampung.

Aku panik.
Pucat.
Dan histeris mendengar apa yang di sampaikan adikku.

Mengapa tak engkau kabari Abang secepatnya?” seru ku.

Dari pagi buta aku telepon Bang, tapi Hp Abang mail box terus” jawab adikku di ujung saluran telepon.

Ya Rasul..Baru aku sadar di pedalaman tadi tidak tersedia signal jaringan telepon seluler.
Belasan tahun merantau aku selalu siap menjawab dan menghadapi segala persoalan. Tapi soal yang satu ini, aku tak pernah menduganya menimpaku.

Innalilahi wainnailahiroji’un.
Abah meningal dunia , menghadap Yang Mencipta-Nya.
Baru saja aku merindunya kawan..
Baru saja aku merindunya namun Allah tak mengizinkan rindu ini berlabuh.

Baca Juga:  Menelusuri Jejak Sejarah Kesultanan Kadriyah Pontianak di Tanah Melayu Siak Sri Indrapura

Aku terisak bagai anak kecil.

Air mataku jatuh berderai-derai membayangkan jasad Abah terbujur kaku di rumah panggung kami yang aku pun lupa bagaimana lagi bentuknya. Ayah tiri? Aku memukul-mukul kepalaku sendiri. “BODOH KAU AYUB” teriak hatiku histeris. Penyesalanku sungguh tidak terkira melebihi batas kemampuanku, hinga aku sempat tak sadarkan diri saat itu.

Tragis kawan…

Kerinduan seorang ayah yang tak bertepi kandas hanya ke-egoan puteranya yang mengkotak-kotakkan status ayah kandung dengan ayah tiri. “Anak Jantan Macam Apa aku ni Abah?”.

Aku meluncur ke kampung detik itu juga. Dipelupuk mataku terbayang sosok Abah melaksanakan shalat subuh di bawah rindang kayu ara di tepian sungai. Aku tersedu.

Astaghfirullahalziim..Astaghfirullahalziim..”
aku mengulang-ulang kalimat itu sepanjang jalan. Aku memohon ampun kepada Allah, mohon ampun layaknya seorang anak yang durhaka kepada ayahnya.

Kawan, mungkin ayah mu masih hidup sekarang. Tapi kalaulah boleh aku bertanya:
Kapankah engkau terakhir kali tersenyum bersama ayah mu?

Kapankah engkau terakhir kali melakukan hal-hal kecil bersama ayah mu?

Kapankah engkau terakhir kali makan bersama ayah mu?

Kapankah engkau terakhir mendengar takbir sholat ayahmu, atau bahkan menjadi makmumnya?

Kapankah engkau terakhir kali melihat kasarnya telapak tangan ayahmu, namun merasakannya menjadi betapa lembut saat tangan itu meraba pipimu? Mengusap kepalamu, menarik hidung mu?.
Maka beruntunglah bagi kamu yang masih ingat itu semua.

Beruntunglah bagi kamu yang bahkan masih bisa merasakan itu semua.

Beruntunglah kamu yang masih bisa menemuinya saat kamu selesai membaca kisahku ini, dan memintanya melakukan itu semua seperti saat-saat masa kecil mu. Iya kan?

Tapi bagaimana denganku???

“Abah…!!” Jerit hatiku meredam bibirku yang menggigil. Keinginanku sudah tiada terbendung memburu waktu untuk mencium pipi Abah sebelum dikebumikan.

Tapi apakah sempat? teriakku dalam hati.

Duhai anak jantanku….Kampung kita semakin sunyi, hanya dengung siamang mengisi kesunyian kampung. Tak ada lagi cengkerama anak-anak muda. Orang-orang tua tak telap lagi bekerja, hingga untuk menyambung hidup mereka menjual tanah-ladang leluhur kita kepada orang luar. Pulanglah Nak, pulanglah..Kita bangun kampung ini agar tak hilang seperti cakap pujangga kita Hang Tuah; Takkan Melayu Hilang Di Bumi. Tegakah engkau melihat kami hidup dalam sunyi?”.

Itulah penggalan isi surat terakhir ayah yang kembali terngingang ditelingaku, menambah kesedihan mendalam bagiku.
…………………..
Kawan..
Kewajiban bagi yang hidup adalah segera menguburkan yang meningal dunia tanpa mengulur-ngulurkan waktu.

Baca Juga:  Bupati Afrizal Sintong Khawatir Kantor Bupati Rohil Ambruk

Atas dasar itulah Abah segera dikebumikan tanpa aku sempat melihat wajahnya untuk terakhir kalinya, tanpa aku sempat mencium pipinya. Aku tersenyum getir memeluk emak dan adik-adikku. Orang-orang kampung dirumah panggung kami terkejut melihat aku pulang kampung setelah sekian belas tahun merantau. Anak yang hilang itu telah kembali.

Tolong antarkan aku ke makam Abah..” pintaku lirih.

Mari Nak…” Seorang lelaki tua menjawab. Aku mengenalnya sebagai guru mengaji surau kami dahulu, Wak Amir.

Kami berjalan kaki menyusuri tepian sungai arah ke hulu.

Dikejauhan tampak jembatan megah melintang di atas sungai yang melegenda ini, sungai tempat aku dan Abah menumpil balak belasan tahun silam. Mengingat itu kembali aku terisak seperti anak kecil, rindu dan sedih tak berkesudahan.

Usah bersedih Nak, banyak beristighfar. Lihatlah bangunan itu” hibur Wak Amir sambil menunjuk sebuah bangunan permanen diantara rumah-rumah panggung orang kampung khas melayu. Tertera diatasnya tulisan sederhana PESANTREN TAHFIZ QUR’AN “AL-AYYUBI”. Aku tercekat, itu penggalan nama lengkap ku; Muhammad Al-Ayyubi?!

“Kami sangat berterima kasih kepadamu disebabkan telah membuatkan gedung pesantren di kampung ini” katanya tersenyum.

“Tapi..aku tak pernah membantu kampung ini Wak. Dan bukankah itu namaku? Mengapa menjadi nama pesantren ini?” kataku bingung menyeka air mata.

“Aku tahu nak. Abah mu bercerita, engkau selalu menolak uang kiriman belanja yang selalu dikirimnya setiap bulan. Akhirnya beliau bernazar uang itu diinfaqkan membangun pesantren ini setiap bulannya dengan jumlah yang sama selama belasan tahun, alhamduililah seperti ini hasilnya”. Sesak dadaku mendengar kalimat Wak Amir.

“Awalnya sudah aku nasehati beliau, alangkah baiknya uang itu ditabung pribadi agar beliau bisa menunaikan ibadah haji. Tapi beliau menolak mentah-mentah. Beliau lebih memilih menunda menunaikan ibadah haji asalkan kampung kita memiliki pesantren hingga kemudian Allah memanggilnya. Semasa beliau hidup dinamainya pesantren ini dengan namamu karena beliau ingin anak jantan kesayangannya yang menjadi pengajar di pesantren ini. Begitulah yang selalu ia ceritakan kepadaku”.

Pandanganku gelap.

Hingga sampai di pusara Abah aku rubuh memeluk bumi tempatnya terbujur.

Abah..Maafkan Anak Jantan mu ini yang tak bisa memenuhi janji. Tapi setelah ini, jika Allah mengizinkan aku akan pulang kampung menyelesaikan janji si anak jantan yang tertunda”.

Sungai Apit, Ramadhan 1438 H.
TAMAT

Note:
Oleh Bambang Bonari, tinggal di Sungai Apit. Silahkan repost atau share dimedsos jika ini layak dipublikasikan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *